Sunday, July 3, 2016

Mengenal Apa Itu Asas Legalitas

Dasar pokok dalam mejatuhi pidana pada  orang yang telah melakukan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis: Tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dasar ini adalah mengenai di pertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Jadi, mengenai "criminal responsibility atau criminal liability". Tetapi sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan, yaitu mengenai perbuatan pidananya sendiri, mengenai criminal act, juga ada dasar yang pokok, yaitu: asas legalitas (Principle of legality), asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya ini dikenal dalam bahasa latin sebagai "Nullum delictum nulla poena sine pravie lege" (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu. Ucapan "Nullum delictum nulla poena sine pravie lege" ini berasal dari von Feuerbach, sarjan hukum pidana Jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya: "Lehrbuch des peinlichen Recht (1801)". Perumusan asas legalitas dari Feurbach itu di kemukakan berhubung dengan teorinya yang di kenal dengan nama teori "vom psychologischen Zwang", yaitu yang menganjurkan supaya dalam menentukan perbuatan-perbuatan yang dilarang di dalam peraturan bukan saja tentang macamnya perbuatan yang harus dituliskan dengan jelas, tetapi juga tentang macamnya pidana yang diancamkan. Dengan cara demikian ini, maka oleh orang yang akan melakukan perbuatan yang dilarang tadi lebih dahulu telah diketahui pidana apa yang akan dijatuhkan padanya jika nanti perbuatan itu dilakukan. Dengan demikian dalambatinnya, dalam psychenya, lalu diadakan tekanan untuk tidak berbuat. Dan kalu toh dia melakukan perbuatan tadi, maka hal dijatuhi pidana padanya itu bisa dipandang sebagai sudah disetujuinya sendiri. Jadi pendirian Fuerbach mengenai pidana ialah pendirian yang tergolong absolut (mutlak). sama halnya dengan teori pembalasan (retribution). Biasanya asas legalitas ini di makshud mengandung tiga pengertian, yaitu:
  1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu lebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan Undang-Undang;
  2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kias);
  3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut;
Dalam hal pengertian nomor satu bahwa harus ada aturan undang-undang, jadi aturan hukum tertulis lebih dahulu, itu dengan jelas tampak dalam pasal 1 KUHP, dimana dalam teks Belanda disebutkan: "wettelijke strafbepaling" yaitu aturan pidana dalam perundangan. Akan tetapi dengan adanya ketentuan ini konsekuensinya adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat lalu tidak dapat dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. Padahal Hukum pidana adat itu masih berlaku, walaupun hanya untuk orang-orang tertentu dan sementara saja. Agar kejanggalan yang demikian tidak ada, maka dalam UUD Sementara pasal 14 ayat (2) dahulu ditentukan: "Tidak seorang juapun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman, kecuali karena suatu aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya. Karena yang dipakai disini adalah istilah aturan hukum, maka dapat meliputi aturan yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan demikian, juga untuk berlakunya hukum pidana adat diberikan dasar yang kuat. Meskipun sekarang UUD Sementara sudah tidak berlaku lagi, namun hemat saya, dari bunyinya Pasal 5 ayat (3b) Undang-Undang Darurat 1951 no. 1, diatas, kiranya tidak seorang pun yang akan menyanggah sahnya ketentuan tersebut berdasar tidak berlakunya pasal 14 ayat (2) UUD Sementara tadi.

No comments:

Post a Comment