Hukum waris adat meliputi
aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang bertalian dengan proses
penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan harta kekayaan materiil dan non
materiil dari generasi ke generasi. Pengaruh aturan-aturan hukum lainnya atas
lapangan hukum waris atas lapangan hukum waris dapat diwariskan sebagai
berikut:
1. Hak purba/pertuanan/ulayat
masyarakat hukum adat yang bersangkutan membatasi pewarisan tanah.
2. Kewajiban dan hak yang timbul
dari perbuatan-perbuatan kredit tetap berkekuatan hukum setelah si pelaku
meninggal.
3. Transaksi-transaksi seperti jual
gadai harus dilanjutkan oleh ahli waris.
4. Struktur pengelompokkan wangsa/anak, demikan
pula bentuk perkawinan turut bentuk dan isi perkawinan.
5. Perbuatan-perbuatan hukum seperti
adopsi, perkawinan ambil anak, pemberian bekal/modal berumah-tangga kepada
pengantin wanita, dapat pila dipandang sebagai perbuatan dilapangan hukum
waris; hukum waris dalam arti luas, yaitu penyelenggaraan, pemindah tanganan,
dan peralihan harta kekayaan kepada generasi berikutnya.
Menurut Hilman Hadikusuma, digunakannya istilah hukum waris adat dalam hal ini
dimaksudkan untuk membedakan dengan istilah hukum watis barat, hukum waris
islam, hukum waris Indonesia, hukum waris nasional, hukum waris Minangkabau,
hukum waris Batak, hukum waris Jawa dan sebagainya. Jadi istilah hukum waris
adat atau bisa disebut hukum adat waris tidak ada bedanya.
Istilah waris didalam kelengkapan istilah hukum waris adat diambil alih dari
bahasa Arab yang telah menjadi bahasa Indonesia, dengan pengertian bahwa
didalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.
didalam hukum waris adat tidak semata-mata hanya akan menguraikan tentang waris dalam hubungannya dengan ahli waris, tetapi lebih luas dari itu.
Sebagaimana telah dikemukakan diatas hukum waris adat adalah hukum adat yang
memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan azas-azas hukum waris, tentang
harta warisan, pewaris dan ahli waris serta cara bagaimana harta warisan itu
dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum
waris adat sesungguhnya adalah hukum penerusan harta kekeyaan dari suatu
generasi kepada keturunannya. Dalam hal ini dapat diperhatikan bagaimana
pendapat para ahli hukum adat dimasa lampau tentang hukum waris adat.
Hukum waris adat memuat tiga
unsur pokok, yaitu:
1.
Mengenai subyek hukum waris, yaitu siapa yang menjadi pewaris dan siapa yang
menjadi ahli waris.
2.
Mengenai kapan suatu warisan itu dialihkan dan bagaimana cara yang dilakukan
dalam pengalihan harta waris tersebut. Serta bagaimana bagian masing-masing
ahli waris.
3.
Mengenai obyek hukum waris itu sendiri, yaitu tentang harta apa saja yang
dinamakan harta warisan, serta apakah harta-harta tersebut semua dapat
diwariskan.
Di dalam masyarakat adat
Indonesia, secara teoritis sistem kekerabatan dapat dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu:
a.
Sistem Patrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak,
dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhya dari kedudukan wanita didalam
pewarisan (Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa Tenggara,
Irian).
b.
Sistem Matrilinial, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut garis ibu,
dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam
pewarisan (Minang kabau, Enggano, Timor).
c.
Sistem Parental atau Bilateral, yaitu sistem keturunan yang ditarik menurut
garis orang tua, atau menurut garis dua sisi (bapak-ibu), dimana kedudukan pria
dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh, Sumatera Timur, Riau,
Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain).
Sistem Patrilineal adalah
sistem kekerabatan yang menarik garis dari Pihak Bapak, maksudnya dalam hal ini
setiap orang hanya menarik garis keturunan dari Bapaknya saja. Hal ini
mengakibatkan kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada wanita dalam
hal mewaris. Sistem ini dianut oleh suku-suku seperti, Batak, Gayo, Nias, Lampung,
Seram, NTT dan lain-lain.
Secara umum, asas
pewarisan yang dipakai dalam masyarakat adat bergantung dari jenis sistem
kekerabatan yang dianut. Namun menurut Hazairin, hal itu bukan suatu hal yang
paten. Artinya, asas tersebut tidak pasti menunjukkan bentuk masyarakat di mana
hukum warisan itu berlaku. Seperti misalnya, asas individual tidak hanya
ditemukan pada masyarakat yang menganut sistem bilateral, tetapi juga ditemukan
pada masyarakat yang menganut asas patrilineal, misalnya pada masyarakat Batak
yang menganut sistem patrilineal, tetapi dalam mewaris, memakai asas
individual.
Menurut
Sopemo hukum waris tersebut memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur cara
penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau tidak berwujud) dari pewaris
kepada para warisnya. Cara penerusan dan peralihan harta kekayaan itu dapat
berlaku sejak pewaris masih hidup atau setelah pewaris meninggal dunia.
Apabila mengartikan waris setelah pewaris wafat memang benar jika masalah yang
dibicarakan dari sudut hukum waris Islam atau hukum waris KUH Perdata, tetapi
jika dilihat dari sudut pandang hukum adat, maka pada kenyataannya sebelum
pewaris wafat sudah dapat terjadi perbuatan penerusan atau pengalihan harta
kekayaan kepada ahli waris. Perbuatan penerusan atau pengalihan harta dari
pewaris kepada ahli waris sebelum pewaris wafat (Jawa, lintiran) dapat terjadi
dengan cara penunjukkan, penyerahan kekuasaan atau penyerahan kepemikan atas
bendanya oleh pewaris kepada ahli waris.
Hukum waris adat itu mempunyai corak dan sifat-sifat tersendiri yang khas
Indonesia, yang berbeda dari hukum Islam maupun hukum barat. Sebab perbedaannya
terletak dari latar belakang alam fikiran bangsa Indonesia yang berfalsafah
Pancasila dengan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Latar belakang itu pada
dasarnya adalah kehidupan bersama yang bersifat tolong-menolong guna mewujudkan
kerukunan, keselarasan dan kedamaian didalam hidup.
Hukum adat waris di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh susunan masyarakat
kekerabatannya yang berbeda. Sebagaimana dikatakan Hazairin bahwa: “Hukum waris
adat mempunyai corak sendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional
dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya patrilineal, matrilineal,
parental atau bilateral, walaupun pada bentuk kekerabatan yang sama belum tentu
berlaku sistem kewarisan yang sama.
Sifat Hukum Waris Adat
Jika hukum waris adat kita bandingkan dengan hukum waris Islam atau hukum waris
atau hukum waris barat seperti disebut didalam KUH Perdata, maka nampak
perbedaan-perbedaannya dalam harta warisan dan cara-cara pembagiannya yang
berlainan.
Harta warisan menurut hukum waris adat tidak merupakan kesatuan yang dapat
dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi atau dapat
terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta warisan
adat tidak boleh dijual sebagai kesatuan dan uang penjualan itu lalu
dibagi-bagikan kepada para waris menurut ketentuan yang berlaku sebagaimana
didalam hukum waris Islam atau hukum waris barat.
Harta warisan adat terdiri dari harta yang tidak dapat dibagi-bagikan
penguasaan dan pemilikannya kepada para waris dan ada yang dapat dibagikan.
Harta yang tidak terbagi adalah milik bersama para waris, ia tidak boleh
dimiliki secara perseorangan, tetapi ia dapat dipakai dan dinikmati. Hal ini
bertentangan dengan pasal 1066 KUH Perdata alinea pertama yang berbunyi:
“Tiada seorangpun yang
mempunyai bagian dalam harta peninggalan diwajibkan menerima berlangsungnya
harta peninggalan itu dalam keadaan tidak terbagi”
Harta warisan adat yang
tidak terbagi dapat digadai jika keadaan sangat mendesak berdasarkan
persetujuan para tetua adat dan para anggota kerabat bersangkutan. Bahkan untuk
harta warisan yang terbagi kalau akan dialihkan atau dijual oleh waris kepada
orang lain harus dimintakan pendapat diantara para anggota kerabat, agar tidak
melanggar hak ketetanggaan (naastingsrecht) dalam kerukunan kekerabatan.
Hukum waris adat tidak
mengenal azas “legitieme portie” atau bagian mutlak sebagaimana hukum waris
barat dimana untuk para waris telah ditentukan hak-hak waris atas bagian
tertentu dari harta warisan sebagaimana diatur dalam pasal 913 KUHPerdata atau
di dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’.
Hukum waris adat tidak
mengenal adanya hak bagi waris untuk sewaktu-waktu menuntut agar harta warisan
dibagikan kepada para waris sebagaimana disebut dalam alinea kedua dari pasal
1066 KUHPerdata atau juga menurut hukum Islam. Akan tetapi jika si waris
mempunyai kebutuhan atau kepentingan, sedangkan ia berhak mendapat waris, maka
ia dapat saja mengajukan permintaannya untuk dapat menggunakan harta warisan
dengan cara bermusyawarah dan bermufakat dengan para waris lainnya.
Sistem
Kewarisan
Dilihat dari orang yang mendapatkan warisan (kewarisan) di Indonesia terdapat
tiga macam sistem, yaitu sistem kewarisan kolektif, kewarisan mayorat, dan
kewarisan individual. Di antara ketiga sistem kewarisan tesebut pada
kenyataannya ada yang bersifat campuran.
a. Sistem
Kolektif
Apabila para waris mendapat
harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris
yang tidak terbagi secara perseorangan, maka kewarisan demikian disebut
kewarisan kolektif. Menurut sistem kewarisan ini para ahli waris tidak boleh
memiliki harta peninggalan secara pribadi, melainkan diperbolehkan untuk
memakai, mengusahakan atau mengolah dan menikmati hasilnya (Minangkabau:
“ganggam bauntui”). Pada umumnya sistem kewarisan kolektif ini terhadap harta
peninggalan leluhur yang disebut “harta pusaka”, berupa bidang tanah
(pertanian) atau barang-barang pusaka, seperti tanah pusaka tinggi, sawah
pusaka, rumah gadang, yang dikuasai oleh Mamak kepala waris dan digunakan oleh
para kemenakan secara bersama-sama. Di Ambon seperti tanah dati yang diurus
oleh kepala dati, dan di Minahasa terhadap tanah “kalakeran” yang dikuasai oleh
Tua Unteranak, Haka Umbana atau Mapontol, yang di masa sekarang sudah boleh
ditransaksikan atas persetujuan anggota kerabat bersama.
b. Sistem
Mayorat
Apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai anak tertua,
yang berarti hak pakai, hak mengolah dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya
oleh anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya
yang pria dan wanita sampai mereka dapat berdiri sendiri, maka sistem kewarisan
tersebut disebut “kewarisan mayorat”. Di daerah Lampung beradat pepadun seluruh
harta peninggalan dimaksud oleh anak tertua lelaki yang disebut “anak
punyimbang” sebagai “mayorat pria”. Hal yang sama juga berlaku di Irian Jaya,
di daerah Teluk Yos Sudarso kabupaten Jayapura. Sedangkan di daerah Semendo
Sumatera Selatan seluruh harta peninggalan dikuasai oleh anak wanita yang
disebut “tunggu tubing” (penunggu harta) yang didampingi “paying jurai, sebagai
“mayorat wanita”.
c. Sistem
Individual
Apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan dengan
“hak milik”, yang berarti setiap waris berhak memakai, mengolah dan menikmati
hasilnya atau juga mentransaksikannya, terutama setelah pewaris wafat, maka
kewarisan demikian disebut “kewarisan individual”. Sistem kewarisan ini yang
banyak berlaku di kalangan masyarakat yang parental, dan berlaku pula dalam
hukum waris barat sebagaimana diatur dalam KUH Perdata (BW) dan dalam Hukum
Waris Islam.
Hukum adat waris mempunyai
sistem kolektif, mayorat, dan individual. Sistem waris kolektif yaitu, harta
warisan dimiliki secara bersam-sama, dan ahli waris tidak diprbolehkan untuk
memiliki secara pribadi. Jika ingin memanfaatkan harta waris tersebut, harus
ada musyawarah dengan ahli waris yang lain. Sistem waris mayorat yaitu, harta
waris dimiliki oleh ahli waris yang tertua, dikelola dan dimanfaatkan untuk
kepentingan ahli waris yang muda baik perempuan atau laki-lak sampai merka dewasa
dan mampu mengurus dirinya saendiri. Sistem waris individual yaitu, harta
warisan bisa dimliki secara pribadi oleh ahli waris, dan kepemilikkan mutlak
ditangannya.
No comments:
Post a Comment