Saturday, July 2, 2016

Mengenal Asas-Asas Hukum Acara Perdata

Hai sobat blogger kali ini saya akan membagikan sedikit ilmu lagi, kali ini saya akan membagikan mengenai apa saja sih asas-asas dari Hukum Acara Perdata di indonesia, dengan asas-asas yang akan saya tulis nanti yang mana hal tersebut sangatlah penting untuk menunjang berjalannya hukum di indonesia khususnya hukum perdata, untuk mahasiswa hukum semester akhir pasti tidaklah asing atau malah sudah hafal di luar kepala mengenai asas-asas ini namum disini saya akan tulis dalam rangka membagi ilmu saya dan hitung-hitung mengamalkan ilmu saya karena dalam agama yang saya anut ada sebuah hadist "Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, doa anak sholeh" (HR. Muslim no. 1631), nah sekarang langsung saja ke pointnya.
Pertama kita harus tahu apa sih itu "asas", yaitu aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan melatarbelakangi pelaksanaan sebuah hukum atau bisa di artikan asas ialah petunjuk-petunjuk dalam membuat sebuah hukum yang di cita-citakan dalam kelompok masyarakat, dalam Hukum acara perdata adapun asas-asasnya untuk memperlancar jalannya hukum perdata "materiil", yaitu antara lain
 
1. Hakim Bersifat Menunggu

Yaitu inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan. jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada Hakim, demikianlah seperti bunyi pameo yang tidak asing lagi khususnya untuk mahasiswa hukum
"Wo kein Kalger ist, ist kein Richter; nemo judex sine actore". Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya: iudex ne procedat ex officio (pasal 118 HIR, 142 Rbg.). Akan tetapi sekali perkara diajukan kepadanya, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, sekalipun dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau hukum kurang jelas (pasal 16 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004). Larangan untuk menolak memeriksa perkara disebabkan anggapan bahwa hakim tahu akan hukumnya "ius curia novit". Kalau sekiranya ia tidak dapat menemukan hukum tertulis, maka ia tetap wajib mengadili, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat (pasal 28 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004). Maka dari itu Hakim dituntut keterampilan dan intelektualitasnya.

2. Hakim Pasif

Hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim disini hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan (pasal 5 ayat (2) UU no. 4 tahun 2004). Hakim hanya harus aktif memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu kedua belah pihak dalam mencari kebenaran, tetapi dalam memeriksa perkara perdata Hakim harus bersikap "tut wuri". Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak "secundum allegata iudicare". Jadi para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah diajukannya ke muka pengadilan, sedang Hakim tidak dapat menghalang-halanginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan gugatan (pasal 130 HIR, 154 Rbg). Hakim wajib mengadili seluruh gugatan dan dilarang menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih daripada yang di untut (pasal 178 ayat 2 dan 3 HIR, 189 ayat 2 dan 3 Rbg.)  

3. Sifat Terbukanya Persidangan

Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang di bolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari asas ini tidak lain untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan dan juga serta untuk lebih menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yanga adil kepada masyarakat. Asas ini kita jumpai dalam pasal 19 ayat (1) dan 20 UU no. 4 ahun 2004.

4. Mendengarkan Kedua Belah Pihak

Di dalam Hukum Acara Perdata, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang, seperti yang dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) UU no. 4 tahun 2004, mengandung arti bahwa di dalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya. Asas bahwa kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas "audi et alteram partem" atau "Eines Mannes Rede, man soll sie horen alle beide". Hal ini berarti bahwa Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti juga bahwa pengakuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak (pasal 132a, 121 ayat (2) HIR, 145 ayat (2), 157 Rbg, 47 Rv).

5. Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan

Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (pasal 25 UU no. 4 tahun 2004, pasal 184 ayat (1), 319 HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimakshudkan sebagai pertanggungjawaban hakim pada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, Pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif. Karena adanya alasan-alasan itulah maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena Hakim tertentu yang menjatuhkannya. Betapa pentingnya alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat kita lihat dari beberapa putusan M.A yang menetapkan bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan "onvoldoende gemotiveerd" merupakan alasan melakukan upaya hukum yang lebih tinggi dan harus dibatalkan. Untuk lebih dapat mempertanggungjawabkan putusan sering juga dicari dukungan pada yurisprudensi dan ilmu pengetahuan.

6. Beracara Dikenakan Biaya

Untuk beracara pada asasnya dikenakan biaya (pasal 3 ayat (2) UU no. 4 tahun 2004, 182 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg.). Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping itu, apabila diminta bantuan seorang pengacara, maka harus pula dikeluarkan biaya. Ada beberapa kejadian pada Pengadilan Negeri Baturaja dengan putusannya tanggal 6 juni 1971 no 6/1971/Pdt menggugurkan gugatan penggugat karena penggugat tidak menambah perskot biaya perkaranya, sehingga penggugat dianggap tidak lagi meneruskan gugatannya. Disini pasti pembaca mempunyai gambaran "wah hukum udah kayak komoditi aja ya yang harus membayar untuk mencari keadilan dari sebuah hukum" dan pasti teman-teman juga bertanya bagaiman dengan orang-orang tidak mampu? tenang saja sobat, hukum tidak sekeras itu kok..hehehe. Nah bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (pro-deo) dengan mendapatkan izin untuk membebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan cara mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi (pasal 237 HIR, 273 Rbg). Didalam praktik, surat keterangan itu cukup dibuat oleh camat yang membawahi daerah tempat yang berkepentingan tinggal.

7. Tidak ada Keharuskan Mewakilkan

HIR tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang berkepentingan. Akan tetapi, para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya (pasal 123 HIR, 147 Rbg.). Dengan demikian Hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa. Wewenang untuk mengajukan gugatan dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa. Dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung, Hakim akan dapat mengetahui lebih jelas persoalannya, karena para pihak yang berkepentinganlah yang mengetahui seluk-beluk peristiwannya. Kalau para pihak menguasakan kepada seorang kuasa, tidak jarang kuasa ini kurang menguasai atau mendalami peristiwa yang menjadi sengketa antara kedua belah pihak secara terperinci, sehingga ia sering hanya siap dengan surat jawabannya saja, tetapi kalau ada pertanyaan dari hakim yang memeriksannya, ia masih harus berkonsultasi lagi dengan pihak yang diwakilinya. Lagipula berperkara di pengadilan secara langsung tanpa perantara seorang kuasa akan jauh lebih ringan dari segi biaya daripada kalau menggunakan seorang kuasa, karena masih mengeluarkan honorarium untuknya.

Nah demikianlah sobat yang bisa saya bagikan, yah walaupun cuma sederhana tapi saya tetap berharap ada manfaat bagi sobat pembaca. Oh iya kalau sobat pembaca ada yang kebetulan mahasiswa hukum maupun praktisi hukum boleh dong di share pengetahuan maupun pengalamannya di kolom komentar biar nati kita bisa diskusi bersama-sama.  

"Ikatkanlah Ilmu Yang Kaupunya Dengan Cara Menuliskannya" (Ali Bin Abi Thalib).

No comments:

Post a Comment